Penuh energi dan semangat, pemotretan pagi itu bersama Cadbury Lemonade alias Tumbas, membawa atmosfer yang berbeda. Sapaannya yang ceria ke seluruh tim redaksi POPBELA yang bertugas memberikan sinyal jika pemotretan kali ini akan berbeda. Benar saja, dengan ramah Tumbas menyalami kami satu per satu dengan gaya khasnya yang ramai, centil, dan dyangdyuutt katanya.
Dari agensi ke dunia konten
Wardrobe: baju & celana FUGUKU, aksesori ISSHU
Dalam dunia yang dipenuhi ekspektasi dan tren cepat berubah, Tumbas hadir sebagai suara yang unik dan autentik. Break a leg, istilah yang POPBELA sematkan untuknya. Istilah tersebut bukan hanya sebagai ucapan semangat, tetapi juga filosofi hidup: berani melangkah, berani salah, dan tetap berdiri meski pernah terpeleset. Dari agensi hingga menjadi content creator yang dicintai, kisah Tumbas penuh warna, seperti pilihan fashion-nya yang berani dan nyentrik.
Sebelum menjadi content creator dengan gayanya yang ikonik, Tumbas sempat bekerja di sebuah agensi sebagai project manager. Setelah memutuskan resign, ia mencoba dunia freelance.
"Tapi karena freelance-nya tidak berjalan begitu mulus, terus aku bertemu dengan salah satu seorang teman aku, dia ngajak aku untuk ngonten. Dia sudah memulai jadi content creator di TikTok. Terus dia meng-encourage aku, dia bilang daripada kamu nungguin freelance, mending kamu ngisi waktunya sambil bikin konten," katanya memulai interview dengan POPBELA saat itu.
Keputusan itu membuka jalan yang tidak disangka. Berawal dari iseng-iseng, ia menemukan keseruan dalam membuat konten. "Setelah ditekuni, ternyata bikin konten seru juga ya," katanya.
Perjalanan menemukan gaya yang autentik
Wardrobe: baju & celana FUGUKU, aksesori ISSHU
Tumbas dikenal karena gaya berpakaian yang unik dan penuh karakter. Dyangdyuutt (asal kata dari dangdut) katanya. Gaya dangdut yang menjadi identitasnya ini berawal dari kesukaannya dengan baju-baju warna-warni, berkilau, dan tak takut untuk tabrak warna.
Dari kesukaannya inilah yang mengilhaminya untuk membuat konten di TikTok. Tumbas memulai dari hal yang ia miliki, menggabungkan barang-barang yang sudah ada di rumah dan menjadikannya OOTD unik. "Yaudah kita asal mix and match aja," jelasnya.
Bagi Tumbas, gaya adalah refleksi dari selera pribadi yang tak bisa ditiru. "Kenapa aku suka gaya yang dangdut? Soalnya menurutku itu lucu banget. Beda dari yang lain dan menggambarkan kepribadian aku aja yang ceria dan suka eksplor hal-hal baru yang anti-mainstream," katanya dengan semangat.
Menemukan signature style: antara referensi dan rasa
Wardrobe: korset silver & rok slit DIBBA, aksesori ISSHU
Proses membentuk gaya bukan sekadar mengikuti tren. Tumbas percaya setiap orang punya sentuhan khasnya masing-masing. "Menurut aku pasti setiap orang punya signature-nya masing-masing sih," katanya. Tumbas pun menyarankan untuk sering melihat referensi dan tetap terbuka pada inspirasi luar, tanpa menghilangkan kesukaan dari preferensi pribadi.
Menemukan signature style-nya saat ini pun tidaklah instan. Ada proses yang dilalui tanpa harus menduplikasi orang lain. Meski terinspirasi dari gaya orang lain, pasti nggak seratus persen gaya tersebut ditiru mentah-mentah.
"Misalnya, ada juga kreator lain yang suka dengan gaya dangdut, tapi nggak plek ketiplek sama persis. Semuanya one and only. Kepribadian diri itulah yang membuat penampilan kita dan orang lain terlihat berbeda walaupun style dan referensinya sama," jelas Tumbas.
Evolusi selera yang bertumbuh
Seiring berjalannya waktu, selera seseorang bisa berubah. Tumbas mengakui bahwa seleranya pun mengalami pergeseran. "Semakin bertambahnya umur, selera juga pasti udah mulai beda," ungkapnya. Misalnya, dulu ia menyukai dangdut dengan cara tertentu, kini definisinya mulai bergeser.
Transformasi ini baginya adalah hal yang alami dan bahkan sedang berlangsung. Ia tidak menolaknya, melainkan menyambutnya sebagai bagian dari pertumbuhan.
"Transformasi berpakaian tentu sudah pasti terjadi. Walau belum terbayang akan seperti apa ujungnya nanti, tapi aku percaya evolusi gaya aku sedang terjadi saat ini. Perubahan yang aku alami bukan bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri, tapi sebagai proses dari adaptasi dengan perkembangan yang sedang terjadi," katanya.
Konsistensi menjadi diri sendiri
Meski tren datang dan pergi, Tumbas tetap setia pada nilai yang ia yakini. "Menurut aku tetap menjadi diri sendiri itu cukup bisa nggak tergantikan," katanya. Ia menyadari pentingnya mengikuti zaman, namun tak pernah benar-benar meninggalkan apa yang sudah ia sukai dari awal.
Baginya, yang paling sulit bukan bersaing dengan orang lain, tapi konsisten dengan diri sendiri. "Melawan diri sendiri itu sulit. Melawan mood itu sulit," aku Tumbas.
Tanggung jawab seorang content creator
Wardrobe: dress, celana, neck scarf & aksesori tangan FUGUKU, aksesori ISSHU
Berbicara soal profesinya saat ini, bagi Tumbas, content creator bukan sekadar hobi atau hiburan. "Ini juga pekerjaan yang perlu dipertanggungjawabkan," tegasnya.
Sebab, sebagai seorang content creator yang kini tengah dilirik banyak brand, konten yang dibuat oleh Tumbas kini bukan hanya untuk diri sendiri. Tapi, ada bentuk kerja sama yang berhubungan erat dengan pekerjaan orang lain, sehingga ia harus menjalaninya dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Bukan hanya tentang eksistensi, tapi tentang dedikasi. "Yang nge-push diri sendiri ya, coba kita aja," katanya. Di balik visual yang menyenangkan, ada kerja keras dan komitmen besar untuk terus berkembang. Ia membuktikan bahwa dunia digital pun menuntut profesionalitas.
Tips Tumbas untuk menjadi diri sendiri dan menemukan gayamu
Wardrobe: dress mini silver & aksesori ISSHU
Menutup wawancara, Tumbas membagikan pesan bagi siapa pun yang ingin memulai. "Pokoknya yang pertama adalah, mulai aja dulu. Terus, stay to yourself."
Pesannya sederhana tapi kuat: jangan terlalu memusingkan komentar orang jika tidak membangun.
"Kalau misalnya cuma kritik doang yang nggak membangun sama sekali, udah tutup telinga aja. Kamu cuma punya dua tangan. Tangan kamu cuma buat menutup dua telinga, bukan untuk menutup seribu atau jutaan mulut netizen di luar sana," tutupnya.
Credit:
Photographer: Raja Siregar
Fashion Editor: Michael Richards
Stylist: Hafidhza Putri Andiza
Beauty Editor: Jennifer Alexis
Makeup Artist: Vani Sagita
Hair Stylist: Charles Sebastian
Interview by: Niken Ari