Terkadang, masa lalu negara yang buruk–termasuk peristiwa kekerasan yang pernah terjadi–bisa menjadi bahan diskusi dan pelajaran penting. Tujuannya, agar kejadian-kejadian buruk dan traumatis itu tak akan terulang lagi, dan mungkin bisa memperbaiki sistem kehidupan di masa mendatang.
Lalu sebaliknya, jika masa lalu yang buruk itu malah kita lupakan dan mencoba menguburnya dalam-dalam tanpa pernah mempertimbangkan dan mengambil pelajaran pentingnya untuk memperbaiki diri, siap-siap saja hal sama akan terulang di kemudian hari. Bahkan, bisa semakin parah.
Sinopsis: bobroknya sistem yang berakar pada masa lalu dan tak pernah diperbaiki
Edwin (Morgan Oey) berjanji kepada kakak perempuannya untuk mencari anaknya yang hilang. Dengan segala upayanya, Edwin ‘menyamar’ sebagai seorang guru seni untuk mencari keponakannya di setiap sekolah di kawasan Jakarta Timur. Suatu hari, sampailah ia di SMA Duri, sekolah terakhir yang ia datangi untuk mencari keponakannya.
SMA Duri bukanlah sekolah biasa. Edwin harus menghadapi anak-anak paling beringas dan brutal yang pernah ia temui. Saat Edwin berhasil menemukan keponakannya, ia harus menghadapi dua situasi mencekam, yakni kerusuhan yang pecah di seluruh kota, serta anak-anak brutal yang mengancam nyawanya. Bisakah Edwin keluar dari sana hidup-hidup dan menemukan sosok yang dicari?
Penceritaan yang rapi dan kritik lugas Joko Anwar
Disturbing, trauma, dan depresif, menjadi emosi yang saya rasakan sepanjang menyaksikan film ini. Rasa tak nyaman melihat bagaimana sistem yang tak pernah diperbaiki karena kesalahan urus negara, benar-benar mengaduk emosi hingga menimbulkan rasa trauma dan depresif pasca menontonnya.
Angkat topi untuk Joko Anwar. Selain mampu menciptakan negeri distopia yang kacau balau dan depresif, lewat tangan dinginnya, Joko Anwar berhasil meramu jalan cerita yang traumatik. Selesai menulis naskah ini di tahun 2007, cerita yang dibuat sedemikian rupa ini nyatanya masih relevan di masa ini.
Meski suasana chaos dapat terasa sejak menit pertama film berjalan, berkat penceritaan yang rapi dari Joko Anwar dan eksekusi yang sempurna, membuat penonton bisa mengikuti alurnya tanpa dibuat bingung sama sekali. Hal inilah–meski saya banyak menutup mata karena adegan disturbing-nya–yang membuat saya betah mengikuti alur kisahnya dan mudah memahami setiap konflik yang dihadirkan di layar.
Totalitas pemain yang patut dapat acungan jempol

Pujian berikutnya saya berikan kepada ansambel pemain. Semua pemain–mulai dari tokoh utama, pemeran pendukung, hingga extras–mendapat treatment yang sama. Hal ini terlihat dari bagaimana gestur mereka, ekspresi, hingga blocking yang mereka lakukan, benar-benar terlihat natural dan begitu meyakinkan.
Pujian paling besar tentu saya tujukan untuk dua aktor utama, Morgan Oey dan Omara Esteghlal. Permainan emosi dan development karakter mereka sepanjang film benar-benar patut mendapat acungan jempol. Morgan Oey, berhasil membius penonton dengan karakternya sebagai sosok yang tumbuh dengan trauma, namun berhasil survive melewati masa lalunya yang kelam.
Sementara Omara, menurut saya, ini adalah penampilan terbaiknya sepanjang 14 tahun berkarier sebagai aktor sejak 2011 silam. Menjadi tokoh dengan karakter brutal akibat selalu mendapat siksaan dari ayahnya, serta perasaan marah yang tak terbendung membuat Jefri tumbuh menjadi sosok yang beringas. Omara, dengan segala kemampuan aktingnya, membuktikan bahwa ia pantas menjadi salah satu aktor yang patut diperhitungkan di industri film saat ini.
Untuk para pemain lainnya pun tentu tak luput dari perhatian saya. Hana Malasan yang cocok memerankan sosok guru konseling yang sabar; Endy Arfian yang begitu pas memerankan anak SMA baik-baik di tengah teman-temannya yang beringas; hingga penampilan singkat namun berkesan dari Emir Mahira, semuanya membekas dan memberikan penampilan terbaik mereka.
Kritik pedas dan urgensi untuk membenahi sistem pendidikan di Indonesia
Terlepas dari jalan ceritanya yang mendebarkan, melalui film Pengepungan di Bukit Duri Joko Anwar merespons situasi terkini Indonesia yang amat relevan tentang isu kekerasan dan urgensi pembenahan pendidikan Indonesia, menyangkut masa depan remaja Indonesia yang terjebak dalam situasi terpuruk.
Dikemas dengan genre drama-thriller, Joko Anwar memberikan intensitas ketegangan dari awal hingga akhir secara konsisten. Dengan berani, Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan situasi yang mungkin saja akan terjadi pada tahun 2027, jika kita semua tak bersuara untuk melakukan pembenahan.
Kekerasan-kekerasan yang terjadi, direpresentasikan dalam aksi laga yang mengancam nyawa di dunia sekolah. Lewat latar yang dibangun oleh Dennis Susanto, dengan sinematografi yang diramu oleh kolaborator lama Joko Anwar, Jaisal Tanjung, serta musik yang digubah oleh Aghi Narottama, menjadikan dunia di Pengepungan di Bukit Duri layaknya sebuah negara yang salah urus.